Kebersamaan Diperut Bumi

Melihat pepohonan di kanan kiri dari dalam kaca mobil serta jalanan yang semakin berbatu menunjukan sebentar lagi kami akan sampai pada tujuan Goa Jomblang - Grubuk. Petrik dan reza masih berdebat soal musik apa yang akan diputar sementara sincan fokus mengendarai mobil dengan vani disampingnya.

Kami berjalan dengan dua mobil, sementara di mobil satunya ada Amink, Ony, Etang, Zenit, Eko dan Arif. Sampai pada tujuan siang hari sekitar pukul 13.00, kami meminta izin kepada pak Sony selaku pemilik Goa tersebut. Singkat cerita pak Sony membeli tanah beberapa hektar dan lubang besar terdapat di tanahnya, menurut cerita-cerita para orang tua di daerah sana. Goa ini memang sudah ada sejak zaman dahulu yang menjadi tempat pembuangan mayat-mayat yang dituduh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang pada saat itu dilarang berada dengan sangkaan membunuh para jendral sehinggak dianggap radikal.

Tempat ini dikelola langsung oleh masyarakat setempat yang di percaya pak Sony, tak hanya itu ada beberapa fasilitas yang disediakan disini seperti penginapan, dan alat-alat untuk turun ke Goa. Bagi yang baru mencoba kegiatan alam bebas wajib menggunakan pemandu.

Dalam rombongan kami tidak menggunakan pemandu ataupun meminjam alat karena dalam rombongan kami bersama anak Mapala UI (Sincan, Etang, Eko, Zenit) serta anggota SAR (Search And Rescue) Universitas Padjajaran (Vani). Setelah sampai kami langsung bersiap untuk menuruni Goa Jombalang melewati jalur umum yang dengan kedalaman sekitar 40 meter.

Takjub mata memandang mulut Goa yang begitu besar dan ketika menuruni Goa hanya seolah mengatakan 'WOW' yang terus menerus terucap, keindahaan dari kedalaman perut bumi. Kaki sudah terpijak di tanah dengan hutan tropis dan ada sebuah lubang yang menuju ke Goa Grubuk, tapi tidak di hari pertama kami sampai. Puas menyusuri aku pun sampai lupa harus menaiki tali sepanjang 40 meter, tentunya bukan hal yang mudah bagi aku yang berbobot lemak disana sini. Memang membutuhkan waktu yang lama untuk sampai kembali ke bibir Goa.

Keesokan harinya kami bangun pagi sekitar pukul 09.00, setelah itu kami memasang set harnest dan berjalan menuju mulut Goa Grubuk tidak jauh dari tempat penginapan. Etang, Eko dan Sincan menyipkan tali untuk menuruni kedalaman sekitar 88 meter. Di Goa Grubuk ini banyak disebut orang-orang sebagai Light From Heaven, dimana  pada siang hari sinar matahari memasuki Goa yang gelap dan menyinari hingga dasarnya. Ketika aku menepakan kaki didasarnya disitulah kaluan akan mengerti.

Sangat dalam hingga aku merasakan keram di bagian paha yang tertekan oleh harnest tapi percaya atau tidak itu semua terbayar oleh pemandangan yang sangat menakjubkan, pas jam 11.00 aku, Reza dan Arif turun dan sesampainya dibawah aku melihat keindahaan sinar surga yang dibicarakan orang-orang. Reza selalu membawa peliharannya yang kami namakan Dumang, seekor sugarglaider yang berumur sekitar dua bulan yang sengaja kami pesan untuk teman kecil untuk setiap petualangan kami. Setelah semua turun kami mengitari bebatuan yang ditetesi air, begitu banyak akar-akar pohon mati yang mengikat stalakmit dan stalaktat. Ketika kami jalan menelusuri Goa menembus Jomblang banyaknya kelelawar dan Dumang seperti berkomunikasi dengan hewan nokturnal lainnya.

Keluar melalui Goa Jomblang aku mencoba jalur yang berbeda dengan reza, selain ingin mencoba jalur baru yang betebing basah tinggi nya pun hanya 20 meter lebih pendek dari jalur umum yang kemarin telah aku coba. Jalur VIP namanya dengan kesulitan memanjat tebingan yang basah dan banyak vegetasi. Menurutku itu lebih mudah dan jalur ini menjadi jalur untuk para wisata yang bisa di tarik dari atas oleh katrol jika tidak bisa ascending (menaiki tali dengan alat jumar).

Total kami berada 9 jam di dalam Goa selai menelusuri kami sibuk berfoto-foto untuk mengabadikan perjalanan ini serta video yang menjadi tujuan utama perjalanan ini. Kami keluar dengan basah kuyup dan langit sudah sangat gelap. Langsung kami beristirahat mengingat esok pagi kami harus pergi ke kaki merapi untuk lokasi pengambilan gambar berikutnya. Pagi hari setelah sarapan petrik mendapatkan cidera di kaki nya yang tertusuk beling sehingga kami harus mengobati dahulu kaki nya hingga terasa lebih baik dan bisa berjalan. Sebagai asisten kameramen amink petrim selalu bekerja dibawah tekanan sama hal nya dengan para jurnalis dan ketika menekan petrik menjadi kebahagian tersendiri bagi para tim untuk melepas penat. Untung saja petrik punya segudang kesabaran untuk menghadapi cercaan tim.

Perjalanan menuju kaki merapi ditempuh sekitar 6 jam dengan tersasar akibat bergantung pada teknologi, ini juga dapat menjadi hal yang penting untuk dicatat yaitu jangan terlalu mengandalkan google map, bawa lah peta lokal dan mempelajari cara pembacaan peta, pembenaran atau hanya alasan rombongan mobil kami tersasar oleh hal itu.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

cerita hidup

Tes Keperwanan untuk ?

Cinta bagi kami